Kebebasan Pers, Cacat Kode Etik Jurnalistik
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jurnalistik
adalah suatu pekerjaan yang mengemban tanggung jawab dan mensyaratkan
adanya kebebasan. Karena, tanpa adanya kebebasan seorang wartawan sulit
untuk melakukan pekerjaanya. Akan tetapi, kebabasan tanpa disertai
tanggung jawab mudah menjerumuskan wartawan kedalam praktek jurnlistik
yang kotor, merendahkan harkat dan martabat wartawan tersebut. Karena
itulah baik di negara-negara maju maupun negara berkembang persyaratan
untuk menjadi wartawan dirasa sangat berat sekali. Wartawan harus
benar-benar bisa menjaga perilaku dalam kegiatan jurnalistiknya sesuai
dengan aturan yang ada, yaitu sesuai dengan kode etik jurnalistik, pasal
1, ayat 1 Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 tahun 1999, dan
Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 22 Tahun 2002.
Wartawan
adalah sebuah profesi, Dengan kata lain, wartawan adalah seorang
profesional. Dalam menjalankan profesinya, seorang wartawan harus dengan
sadar menjalankan tugas, hak, kewajiban dan fungsinya yakni
mengemukakan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya itu, seorang
wartawan harus turun ke lapangan untuk meliput suatu peristiwa yang
bisa terjadi kapan saja. Bahkan, wartawan kadangkala harus bekerja
menghadapi bahaya untuk mendapatkan berita terbaru dan original.Selain
itu wartawan harus mematuhi kode etik jurnalistik, misalnya wartawan
tidak menyebarkan berita yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul
serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. wartawan
menghargai dan menghormati hak masyarakat untuk mendapatkan informasi
yang benar, wartawan tidak dibenarkan menjiplak, wartawan tidak
diperkenankan menerima sogokan, dsb.
Dalam
melaksanakan kode etik junalistik tidak semudah membalikkan telapak
tangan. banyak hambatan yang harus dilalui untuk menjadi wartawan yang
profesional. kode etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi
yang bisa menjadi operasional dalam menegakkan integritas dan
profesionalitas wartawan. Penetapan kode etik guna menjamin tegakanya
kebebasan pers serta terpenuhinya hak – hak masyarakat. Wartawan
memiliki kebebasan pers yakni kebebasan mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Meskipun demikian, kebebasan
disini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat.
Akan
tetapi, dalam realitas saat ini banyak wartawan yang menyimpang dari
aturan-aturan yang sudah di tentukan dalam UU Pers, UU Penyiaran serta
kode etik jurnalistik. Banyak wartawan dalam memberikan informasi tidak
sesuai dengan fakta, memihak satu pihak, tidak menjaga privasi
narasumber, dll. Bisa dibilang kebebasan menjadi “kebablasan”
dan menjadi perilaku yang sudah dianggap biasa dalam kegiatan
jurnalistiknya. Disinilah kita perlu tahu apa aturan yang ada di dalam
kode etik jurnalistik, kebebasan yang bagaimanakah yang dimaksud dalam
aturan tersebut dan bagaimana cara kita mencegah hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pers ?
2. Apa itu kode etik jurnalistik ?
3. Apa saja penyimpangan yang dilakukan para wartawan dan bagaimana cara menanggulanginya?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Kita bisa memahami apa itu yang dimaksud dengan Pers sebenarnya.
2. Kita
mengetahui dan mengerti apa itu kode etik jurnalistik, apa saja yang
terdapat didalamnya serta bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan
jurnalistik nantinya.
3. Kita mengetahui pelanggaran/penyimpangan apa saja yang sering dilakukan para wartawan saat ini.
4. Kita bisa menganggulangi dan mencegah untuk tidak terjerumus dalam penyimpangan yang terdapat dalam kode etik jurnalistik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pers.
Istilah “pers”
berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press.
Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran
secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Dari perkembangannya, pers tidak hanya mencakup media cetak saja, akan
tetapijuga mencakup media elektronik. Dalam
perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam
pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas,
pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi,
dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita,
gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada
orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik
televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya
digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan,
seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan
sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Pers
mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium
komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga
masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari
masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah
daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lembaga- lembaga masyarakat lainnya.Pers adalah
kegiatan yang berhubungan dengan media dan masyarkat luas. Kegiatan
tersebut mengacu pada kegiatan jurnalistik yang sifatnya mencari,
menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan menerbitkanya berdasarkan
sumber-sumber yang terpercaya dan valid.
Suatu
sistem pers di Indonesia sebaiknya pers itu dapat melaksanakan
kebebasan dan tanggung jawabnya. Pers dalam sejarah Indonesia memiliki
peran yang efektif debagai jembatan komunikasi timbal balik antara
pemerintah dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat itu
sendiri. Pers sebagai salah satu unsur media masa yang hadir ditengah
masyarakat bersama dengan lembaga masyarakat alinnya harus mampu
menjadikan diri sebagai forum pertukaran fikiran, komenter, dan kritik
yang bersifat menyeluruh dan tuntas, tidak membedakankelompok, golongan
dan agama. Pers dalam kehidupannya memiliki tanggung jawab yang harus
dipikul dalam konteksnya sebagai media. Macam dan sifat tanggung jawab
pers bersifat relatif di tiap negara namun pada dasarnya semua tanggung
jawab tersebut berlandaskan pada Kode etik pers yang mana merupakan
dasar dari cara kerja pers.
Pers
Indonesia diatur dalam UU pers No. 40 Tahn 1999. Ini merupakan UU pers
yang baru, memuat berbagai perubahan sistem pers yang mendasar atau
sistem pers sebelumnya. hal ini dimaksudkan afgar pers berfungsi secara
maksimal seperti diamanatkan oleh pasal 28 UUD 1945. Fungsi yang
maksimal tersebut diperlukan karena kemerdekaan pers adalah suatu
perwujudan kedaulata rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting
dalam kehidupan bermasyaralkat, berbangsa dan bernegara yang
demokratis.Pencabutan undang undang yang lama dan digantikannya denga
yang baru hakikatnya merupakan pencerminan adanya perbedaan nilai –
nilai dasar politis ideologis antara orde baru dengan orde reformasi.
hal ini tampak jelas pada konsideransi undang – undang pers yang baru.
Dalam konsideransi itu antara lain dinyatakan bahwa undang – undang
tentang ketentuan pers yang lama dianggap sudah tidak sesuai dengan
perkembanngan zaman.
Lahirnya
UU pers yang baru Mno. 40 tahun 1999 didasarkan atas pertimbangan bahwa
UU No.11 Tahun 1966 tentang ketentuan pokok pers sebagaimana telah
diubah lagi dengan UU Nu. 04 Tahun 1967 dan diubah lagi dengan UU No. 21
Tahun 1982. Dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Falsafah di bidang moral pers yaitu mengenai kewajiban – kewajiban pers,
baik dan buruknya ers, pers yang benar, dan pers yang mengatur perilaku
pers di namakan etika pers. Dengan kata lain, etika pers berbicara
tentang apa yang seharusnya dilakukan orang – orang yang terlibat dalam
kegiatan pera. Sumber etika pers adalah kesadaran moral, yaitu
pengetahuan baik dan buruk, benar dan salah, tepat maupun tidak bagi
orang yang terlibat dalam kegiatan pers.
Wartawan
memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan
mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40
Tahun 1999 tentang pers menyebutkan, Kebebasan pers terjamin sebagai hak
asasi warga negara., bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 1). Pihak yang mencoba menghalangi
kemerdekaan pers dapat dikenai tindak pidana penjara maksimal 2 (dua)
tahun atau denda Rp. 500 jt (pasal 18 ayat 1). Meskipun demikian
kebebasan disini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma – norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas preduga tak bersalah
(pasal 5 ayat 1).
B. Kode Etik Jurnalistik.
Kode
etik jurnalistik (KEJ) merupakan aturan mengenai perilaku dan
pertimbangan moral yang harus dianut dan ditaati oleh media pers dalam
siarannya. Kode Etik Jurnalistik pertama kali dikeluarkan oleh PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia). Pada mulanya kode
etik menuntut tanggung jawab moral dari mereka yang bekerja pada suatu
profesi, dalam hal ini adalah jurnalis. Kode etik dikeluarkan oleh
asosiasi atau persatuan profesi dan berlaku terbatas hanya pada anggota
asosiasi profesi tersebut. Sanksi dan hukuman bagi pelanggaran kode etik
diatur oleh organisasi. Sanksi terberat biasanya dipecat dari
keanggotaanya.
Walaupun
begitu, kode etik jurnalistik juga memiliki beberapa keuntungan bagi
para jurnalis, yang pertama adalah dengan adanya kode etik jurnalistik
tersebut, bisa membantu membangun pemahaman profesionalisme bagi mereka
yang bekerja dalam satu organisasi berita atau anggota asosiasi berita,
dan bagi wartawan pada umumnya. Kedua, kepatuhan pada kode etik akan
menciptakan kredibilitas di mata pembaca dan pemirsa, sehingga publik
akan percaya pada apa yang ditulis, dilihat, dan didengarnya. Yang
terakhir kode etik juga memberikan ukuran yang seragam untuk mengatasi
problem dalam pengumpulan berita. Kode etik dimaksudkan untuk mengatasi
problem yang mungkin disebabkan oleh jurnalis yang mungkin pelatihannya
kurang dan nilai-nilai yang dibawanya berbeda.
C. Penyimpangan/pelanggaran yang dilakukan para wartawan yang menyalahi kode etik Jurnalistik.
Berikut ini adalah salah satu contoh dari pelanggaran kode etik jurnalis yang pernah terjadi;
1. Detik.com Melanggar UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Mengacu
pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tengang pers, maka detik.com merupakan
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
saluran yang tersedia atau disebut Pers.Sebagai Pers tentunya detik.com
dipayungi oleh UU Pers dan detik.com dan lembaga pers lainnya selayaknya
jugalah mematuhi dan mentaati kententuan-ketentuan yang diatur pada UU
tersebut. Namun sangat disayangkan ternyata detik.com tidak melaksanakan
ketentuan tersebut secara baik dan benar.
Pada
rubrik kolom di detik.com ada tulisan “Islam, sekulerime dan Indonesia”
dimana pada tulisan tersebut telah menilai agama lain dan secara
implisit telah merendahkannya. Pada hal pada UU Pers sudah jelas diatur
bahwa Pers berkewajiban menjungjung Hak Azasi manusia dan Kebhinekaan
yang diatur pada Pasal 5 ayat 1 UU Pers yang berbunyi “Pers nasional
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah”. Selain itu detik.com juga telah melanggar ketentuan Pasal 6
UU Pers, dimana sebagai Pers detik.com mempunyai peranan ;
a.memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b.
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum;e. memperjuangkan keadilan dan
kebenaran.
Dari
sisi Kode etik Jurnalistik, detik.com juga telah melanggar
ketentuan-ketentuan yang ada yakni Pasal 3 : ” Wartawan Indonesia selalu
menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan
fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.”
Pasal
8 “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan
suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat
jasmani.Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta
tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau
cacat jasmani.
Bila
kita lihat komentar-komentar tanggapan pada tulisan ini, maka sungguh
sangat menyedihkan, dimana saling hujat menghujat terjadi antara
pembaca. walaupun belum dapat dikatakan representativ mewakili seluruh
rakyat namun Hal ini dapat dijadikan sebagi cermin bahwa tulisan-tulisan
seperti ini dapat berakibat buruk bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara republik Indonesia.
Seharusnya detik.com dan media-media lain dapat lebih selektif memuat
tulisan-tulisan baik berita, dan opini karena Pers merupakan lembaga
publik yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Tulisan
ini bukan semata ditujukan kepada detik.com semata, akan tetapi
ditujukan kepada semua media Pers baik elektronik dan cetak. semoga
bermanfaat bagi kita semua, agar kita kita sebagai masyarakat lebih
selektif dan jernih berpikir agar menjadi masyarakat yang arif dan
bijaksana.
2. Kasus
wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di
Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri
Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai
mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari
sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja
menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi, belakangan terungkap,
ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena tidak pernah
dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu sedang sakit
tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan
keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan
dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang
disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.
3. Pemberitaan kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One.
Menurut Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana
Said, Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung
Dewan Pers, indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan
yang kurang berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak
kepolisian saja.
Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya
narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani,
bukan dari narasumber utama.
Pasal
yang dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan
Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji
informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan
opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam
kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan dari pihak
kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama yaitu Antasari
atau Rani
4. .Selain
kasus bentrokan di Koja, pemberitaan lain yang memuat gambar sadis dan
melanggar Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik adalah pemberitaan tentang
ledakan bom di Hotel Ritz-Carlton dan JW Mariott, Kuningan, bulan Juli
tahun lalu. Pada siaran langsung suasana tenpat kejadian beberapa saat
setelah bom meledak, Metro TV memuat gambar Tim Mackay, Presiden
Direktur PT Holcim Indonesia, yang berdarah-darah dan tampak tidak
beradaya, di jalanan. Penanyangan gambar tersebut tentu tidak sesuai
dengan Kode Etik Jurnalisitk dan dapat menimbulkan dampak traumatis bagi
penonton yang melihat.
Dari
sedikit kasus penyimpangan yang telah terjadi belum lama ini, kita
seharusnya bisa mengkritisi hal tersebut mengapa bisa terjadi. Realitas
sekarang memang sudah benar-benar tidak diherankan lagi apabila hukum
dinodai. Seperti halnya para wartawan yang sudah biasa melanggar kode
etik jurnalistik tersebut. Kita seharusnya mampu menjunjung aturan
tersebut dengan penyadaran terhadap diri sendiri dan mengaplikasikannya
dalam kegiatan jurnalistik. Dengan demikian, kecil kemungkinan untuk
melakukan pelanggaran tersebut. Karena sebenarnya kode etik jurnalistik
dibuat bukan untuk main-main, akan tetapi dengan penuh kesungguhan demi
kelancaran wartawan dalam melaksanakan kerjanya sebagai jurnalis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasan terkait apa itu kebebasan Pers yang menyalahi kode etik
jurnalistik diatas, disini saya akan menjelaskan inti-intinya, yaitu :
1. Istilah “pers”
berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press.
Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran
secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Dari perkembangannya, pers tidak hanya mencakup media cetak saja, akan
tetapijuga mencakup media elektronik.
2. Kode
etik jurnalistik (KEJ) merupakan aturan mengenai perilaku dan
pertimbangan moral yang harus dianut dan ditaati oleh media pers dalam
siarannya.Walaupun begitu, kode etik jurnalistik juga memiliki beberapa
keuntungan bagi para jurnalis, yang pertama adalah dengan adanya kode
etik jurnalistik tersebut, bisa membantu membangun pemahaman
profesionalisme bagi mereka yang bekerja dalam satu organisasi berita
atau anggota asosiasi berita, dan bagi wartawan pada umumnya. Kedua,
kepatuhan pada kode etik akan menciptakan kredibilitas di mata pembaca
dan pemirsa, sehingga publik akan percaya pada apa yang ditulis,
dilihat, dan didengarnya. Yang terakhir kode etik juga memberikan ukuran
yang seragam untuk mengatasi problem dalam pengumpulan berita. Kode
etik dimaksudkan untuk mengatasi problem yang mungkin disebabkan oleh
jurnalis yang mungkin pelatihannya kurang dan nilai-nilai yang dibawanya
berbeda.
3. Dari
fakta-fakta tentang penyimpangan kode etik jurnalistik yang dilakukan
para jurnalis, kita tidak boleh tinggal diam. Kita seharusnya bisa
mengkritisi hal tersebut mengapa bisa terjadi. Realitas sekarang memang
sudah benar-benar tidak diherankan lagi apabila hukum dinodai. Seperti
halnya para wartawan yang sudah biasa melanggar kode etik jurnalistik
tersebut. Kita seharusnya mampu menjunjung aturan tersebut dengan
penyadaran terhadap diri sendiri dan mengaplikasikannya dalam kegiatan
jurnalistik. Dengan demikian, kecil kemungkinan untuk melakukan
pelanggaran tersebut. Karena sebenarnya kode etik jurnalistik dibuat
bukan untuk main-main, akan tetapi dengan penuh kesungguhan demi
kelancaran wartawan dalam melaksanakan kerjanya sebagai jurnalis.
B. Kritik dan Saran.
Dari
pemahaman diatas, saya tegaskan lagi bahwa suatu aturan dalam kegiatan,
organisasi maupun perusahaan sengaja dibuat dan ditetapkan untuk
dipatuhi bukan untuk dilanggar. Dalam hal ini, kode etik jurnalistik
sangat bagus isi dan tafsirannya, tinggal bagaimana kita bisa menjalani
aturan tersebut dengan baik dan benar. Kita sebagai wartawan tidak boleh
lengah sedikit pun sehingga kita terjerumus dalam kegiatan penyimpangan
pers tersebut. Para wartawan harus menyadari itu, karena penyadaran
dari dalam diri sendiri lah yang bisa mengkontrol diri kita untuk bisa
bersikap dewasa dan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Dja’far H. Assegaf, Jurnalistik Masa Kini, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985
Morissan, M.A, Jurnalistik Televisi Muktahir, Jakarta : Kencana, 2008
Tom E. Roinicki et. Al, Pengantar Dasar Jurnalisme (Scholastik Journalism), Jakarta : kencana, 2008
Wikipedia.com
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com